Pusaka Pangeran Diponegoro Simbol Melawan Kebatilan

indoarkeologi.xyz – Pangeran Diponegoro konon memiliki beberapa benda-benda pusaka yang dinilai memadai bertuah. Benda-benda pusaka itu pula yang menemani perjalanan hidup sang pangeran melakukan perlawanan kepada Belanda, sampai ia jadi tidak benar satu pahlawan nasional.
Sejumlah benda-benda pusaka yang dikenal sebagai orang bisa saja beberapa besar terdiri dari keris – keris. Benar saja sebenarnya Pangeran Diponegoro memiliki keris-keris yang bersama karomah beliau bisa menolong saat dibutuhkan.
Sejumlah keris punya Pangeran Diponegoro yakni keris Kanjeng Kyai Bondoyudo, keris Kyai Nogo Siluman, wedung Kyai Wreso Gumilar, dan lain-lain. Namun di antara deretan pusaka Pangeran Diponegoro, ada sebuah pusaka yang tak kalah istimewa.
Sekretaris Umum Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) Pandu Setyawan menyatakan, dari sekian banyak pusaka punya Pangeran Diponegoro, ada sebuah pusaka yang memadai unik dan jarang disandang Pangeran Diponegoro. Pusaka ini bernama Kanjeng Kyai Cokro.
“Kanjeng Kyai Cokro merupakan pusaka piandel, di mana hanya disandang saat moment khusus. Berbeda halnya bersama keris Kanjeng Kyai Bondoyudo, yang nyaris tetap terlihat dipakai, lebih-lebih mendampingi beliau sampai akhir hayat,” ucap Pandu, dilakukan konfirmasi MNC Portal.
Menurutnya, terdapat pendapat bahwa Kanjeng Kyai Cokro merupakan sebuah pataka, bersimbol matahari bersama empat bintang dan dua bulan. Hal ini bisa diartikan sebagai perlambang suatu perhimpunan atau pergerakan yang merefleksikan sebuah perjuangan melawan kebatilan dan kezaliman, bersama harapan keselamatan dunia serta akhirat untuk para pengikut Pangeran Diponegoro.
“Nama Kanjeng Kyai Cokro sendiri merujuk pada bentuknya, berupa cakra, yang dipakai di dalam prosesi pelantikan Pangeran Diponegoro jadi Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Khalifatu Rasulillah Ats Tsani Ratu Paneteg Panatagama Satanah Jawi,” jelasnya.
Disebabkan seorang pangeran tak bisa menambahkan perintah kepada sesama pangeran, untuk mempermudah rantai komando organisasi, maka gelar berikut disematkan dan digunakan Pangeran Diponegoro sebagai penanda Pemimpin Tertinggi Perang Jawa. Sebagai informasi saja, ada tidak cukup lebih 39 pangeran atau lebih dari separuh pangeran keraton berdiri di barisan Pangeran Diponegoro.
“Jadi penggunaan gelar berikut tidak untuk menentang institusi keraton dan rajanya, namun digunakan untuk melawan Belanda dan londo ireng (pribumi yang memihak Belanda)” ucapnya.
Para pihak yang berseberangan, berasumsi bahwa gerakan dan pasukan Pangeran Diponegoro identik bersama makar atau pemberontakan, lebih-lebih berandalan. Narasi ini terdapat di dalam Babad Diponegoro lan Babad Nagari Purworejo karya Tjokronegoro I, bupati pertama Purwarejo yang memihak Belanda.
“Saat ini, keberadaan Kanjeng Kyai Cokro dan beberapa artefak pusaka peninggalan Pangeran Diponegoro, layaknya Keris Kanjeng Kyai Nogo Siluman, Tombak Kanjeng Kyai Rondhan, pelana kuda Kyai Gentayu dan lain-lain, tersimpan dan jadi koleksi Museum Nasional, Jakarta,” tandasnya.