Pusaka Mematikan Yang Membawa Bencana

Pusaka Mematikan Yang Membawa Bencana

Pusaka
Pusaka Mematikan Yang Membawa Bencana

indoarkeologi.xyz, Bagaimana jadinya kalau keris dari era lalu yang bersemayam di sebuah rumah punya kolektor artefak bersejarah menghadirkan teror mengerikan kepada seisi penghuni rumah? Hal berikut dikisahkan didalam sebuah film horor terakhir dari sutradara Rizal Mantovani dan rumah mengolah MVP Pictures bertajuk “Pusaka“.

Cerita bermula dari sekelompok pekerja yang dipimpin oleh Nina (⁠Shareefa Daanish) beranggotakan Hanna (Susan Sameh), David (Ajil Ditto), Sandra (Ully Triani) dan Ade (Ikhsan Samiaji) diminta untuk melaksanakan renovasi sebuah rumah besar untuk dijadikan museum.

Rumah besar berikut punya seorang kolektor bernama Risang Wisangko (Slamet Rahardjo Djarot) yang gemar menghimpun artefak kerajaan-kerajaan era lalu.

Sebelum wafat, Risang menambahkan pesan paling akhir kepada kedua anaknya Randi Wisangko (Bukie B. Mansyur) dan Bian Wisangko (Shofia Shireen) untuk memugar rumahnya itu jadi museum supaya penduduk mampu mengenal peninggalan peristiwa dari kerajaan-kerajaan kuno.

Sesampainya di rumah keluarga Wisangko, Nina dan timnya melaksanakan survei dan mengkalkulasi perkiraan renovasi dan pemugaran serta mendata barang-barang bersejarah di sana yang dibantu oleh Profesor Dirga (Joseph Kara) dan Mayang (Sahila Hisyam).

Saat disurvei, mereka paham bahwa rumah Wisangko punya luas yang jauh melebihi perkiraan semula. Selain itu, rumah berikut didesain layaknya benteng bersama dengan sistem keamanan ketat dan hanya satu akses untuk muncul masuk rumah.

Keamanan yang ketat itu bukan tanpa alasan, karena rumah Wisangko ternyata jadi tempat tinggal yang punya banyak arca, prasasti dan beraneka senjata berumur ratusan tahun lamanya.

Keadaan jadi janggal sehabis mereka tidak sengaja mendapatkan area bawah tanah rahasia yang apalagi keberadaannya tidak diketahui oleh anak Risang, Randi dan Bian.

Di didalam area bawah tanah berikut termasuk ditemukan banyak arca dan senjata tradisional dari era kerajaan kuno di Tanah Jawa, beberapa dari artefak itu apalagi tersedia yang selama ini dicari-cari oleh para arkeolog karena hilang secara misterius pas diekskavasi.

Saat Nina dan kawan-kawan menyelidiki area bawah tanah rahasia punya Risang, tanpa sengaja tidak benar satu dari mereka melepaskan kutukan dari sebuah keris pusaka yang sudah lama bersemayam di area bawah tanah tersebut.

Keris terkutuk itu ternyata menghendaki tumbal darah dari penghuni rumah. Nina, Hanna, David, Sandra, Ade, Randi, Bian, Profesor Dirga, dan Mayang pun berusaha untuk bertahan hidup dari teror keris pusaka yang mengincar nyawa mereka.

Mengenai sisi cerita, film “Pusaka” tetap mengikuti tren pola cerita film-film horor Indonesia pas ini yakni horor yang menonjolkan kisah mitos-mitos yang mengenai bersama dengan kebudayaan Jawa.

Dalam film ini yang jadi pusat utama didalam cerita adalah kebolehan magis sebuah keris pusaka dari era kerajaan Hindu di Indonesia.

Karena menyinggung soal artefak bersejarah, didalam film ini pirsawan dapat mendapatkan beberapa dialog yang sedikit mengulas soal latar belakang peristiwa dari keris berikut sekiranya Raja Samarotsaha serta perang Kerajaan Janggala dan Kadiri.

Alur cerita termasuk dikemas cukup ringkas dan tetap mampu diikuti. Dimana cerita soal konsep renovasi rumah Wisangko dan pengenalan sifat selesai dipaparkan pada anggota awal film namun dari pertengahan menuju akhir sudah berfokus pada adegan-adegan horor menegangkan dari teror keris pusaka punya Risang.

Nuansa horor yang mencekam termasuk tetap mampu didapat pas saksikan “Pusaka”. Meskipun tidak benar-benar mengandalkan adegan jumpscare, penampakan wujud menyeramkan Sandra yang dirasuki kutukan keris serta adegan kejar-kejaran bersama dengan sosok yang jadi “monster” didalam film ini berhasil menyebabkan perasaan ngeri, tegang, sampai cemas selama film diputar.

Porsi adegan “gore” yang penuh darah termasuk cukup dominan didalam film ini. Dalam penayangan perdana, penulis berkesempatan saksikan film “Pusaka” versi untuk usia 21 tahun ke atas supaya adegan gore diperlihatkan secara gamblang dan cukup sering.

Akan tetapi, pihak MVP Pictures menyatakan pas “Pusaka” dirilis di bioskop untuk umum, mereka dapat menayangkan versi 17 tahun ke atas supaya porsi adegan gore kemungkinan dapat lebih dikurangi. Tetapi, penulis selalu mengingatkan mampu saja Anda tetap dapat melihat adegan-adegan gore yang kurang nyaman dilihat.

Sebagai pelengkap cerita, film “Pusaka” termasuk menghadirkan bumbu-bumbu drama romansa antara sifat Hanna dan David yang diceritakan saling suka tapi dipertemukan di pas tidak tepat.

Dari faktor akting, mereka mampu memainkan sifat masing-masing bersama dengan baik. Akting emosional maupun keresahan mampu mereka bawakan bersama dengan cukup natural tanpa muncul dibuat-buat. Dalam hal ini penulis menyoroti akting Susan Sameh sebagai sifat Hanna dan Ully Triani sebagai Sandra yang kerasukan kutukan jahat keris.

Karakter Hanna yang diperankan Susan sedikit lebih menonjol didalam cerita film “Pusaka”. Sebagai Hanna, Susan berhasil membawakan sifat berikut bersama dengan baik. Akting didalam beraneka keadaan adegan jadi dari sedih, menyeramkan, sampai adegan aksi mampu ditampilkannya bersama dengan maksimal.

Sementara itu, akting Ully termasuk berhasil menampilkan kesan menyeramkan dari sifat Sandra yang sudah dirasuki kutukan jahat dari keris punya Risang. Kombinasi antara dandanan dan kostum menyeramkan bersama dengan akting kerasukan yang seolah layaknya psikopat haus darah menyebabkan pirsawan jadi ngeri tiap tiap adegan kemunculan Sandra.

Film “Pusaka” disutradarai oleh Rizal Mantovani yang sebelumnya mengarahkan film “Kereta Berdarah” (2024). Sedangkan naskah film ini ditulis oleh Husein M. Atmodjo.

Produksi “Pusaka” ditangani oleh MVP Pictures bekerja mirip bersama dengan A&Z Films di mana keduanya dulu berkolaborasi didalam penggarapan “Tuhan Izinkan Aku Berdosa” (Mei 2024) dan “Sengkolo Malam 1 Suro” (Juni 2024).

Film “Pusaka” dibintangi oleh Susan Sameh, Shareefa Daanish, Ajil Ditto, Ully Triani, Slamet Rahardjo Djarot, Sahila Hisyam, Bukie B. Mansyur, Shofia Shireen, Coki Anwar, Joseph Kara dan Ikhsan Samiaji.

Created By indonesia arkeologi | Creative By indoarkeologi
indoPusaka