Pembagian Pusaka Mataram
indoarkeologi.xyz, Pembagian Pusaka – Perjanjian Giyanti yang ditandatangani Mataram bersama VOC Belanda berdampak sistematis. Sebab, tak cuma proporsi lokasi saja yang perlu dilakukan, tapi termasuk benda pusaka yang dimiliki oleh Kesultanan Mataram. Salah satu pusaka yang terpaksa dibagi sebagian milik Surakarta dan Yogyakarta, adalah gamelan.
Gamelan Jawa yang dianggap sakral di kalangan masyarakat Jawa, sementara itu perlu dibagi. Perlu diketahui, bahwa gamelan Surakarta mulanya sebanyak satu pasang. Ketika Perjanjian Giyanti, seluruh pusaka keraton termasuk gamelan dibagi jadi dua.
Gamelan itu perlu dibagi dua sebagian milik Surakarta dan sebagian diberikan ke Yogyakarta. Konon sebagaimana dikutip berasal dari “Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta : Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III berasal dari Madiun sekitar 1779 – 1810”.
Ketika itu, Surakarta mendapat anggota gamelan Kiai Guntursari, sedang Yogyakarta beroleh Kiai Gunturmadu, atau termasuk disebut Kiai Sekati. Selanjutnya, tiap-tiap raja Surakarta, dan Yogyakarta memerintahkan untuk mengakibatkan ulang satu perangkat gamelan manfaat melengkapi perangkat yang sudah ada.
Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan untuk mengakibatkan gamelan Kiai Nogowilogo. Sebagai pelaksana pembuatan gamelan, Raden Ronggo Prawirodirjo I mencampurkan pamor prambanan dalam sistem pembuatannya, sehingga kualitasnya terbilang bagus.
Sebelum mendukung memperindah keraton, Raden Ronggo Prawirodirjo I sudah menyumbangkan pendopo rumahnya dikala tetap di Pandak Karangnongko, Sukowati, yang kini Kabupaten Sragen, untuk diboyong ke Keraton Yogyakarta. Pendopo sumbangan Raden Ronggo selanjutnya dikenal sebagai Bangsal Kamandhungan, yang sampai saat ini tetap berdiri kokoh tanpa perubahan banyak.
Bangsal Kamandhungan merupakan yang paling tua di keraton, gara-gara sudah lebih dahulu ada sebelum bangunan pendukung lainnya dibangun. Di lingkungan keraton, daerah sang kakek berasal dari pihak ibu dan bayang-bayang sumbangan-sumbangan besar kakek, berasal dari pihak ayah kepada ibu kota kesultanan pada pertengahan abad ke-18, Raden Ronggo Prawirodirjo III menggunakan masa kecilnya.