Mengulik Tradisi Sakral Cuci Keris Pusaka
indoarkeologi.xyz, Mengulik Tradisi – MALAM 1 Suro dianggap sakral bagi penduduk Jawa supaya kerap diselenggarakan ritual khusus layaknya memandikan benda-benda pusaka, kirab kebo bule, pawai obor, dan lainnya. Tradisi ini dilakoni turun-temurun hingga sekarang.
Malam 1 Suro merupakan sinyal awal masuk bulan Sura atau Suro, bulan pertama didalam kalender Jawa. 1 Suro bertepatan bersama 1 Muharam didalam kalender Hijriah atau Tahun Baru Islam. Malam 1 Suro 2024 jatuh pada Sabtu malam 6 Juli nanti.
Salah satu benda pusaka yang kerap dimandikan pada malam1 Suro adalah keris. Bagi penduduk Jawa, keris bukan sekadar senjata tikam, tetapi termasuk menjadi pegangan, filosofi, dan benda bertuah.
Ada dua unsur didalam menilai keris yaitu secara
Keris punya kandungan unsur esoteris dan eksoteris. Secara esoteris keriang dianggap miliki nilai tuah, tayuh, khasiat, isi, dan segala sesuatu secara mendalam. Berbeda bersama eksoteris yang membahas menyangkut pamor, bentuk keindahan, pembuatan, dan estetika nilai keris itu sendiri.
Di samping keris sebagai pusaka kerajaan, secara esoteris keris ternyata termasuk menjadi salah satu sarana pengasihan, sarana kekayaan, sarana kerezekian, kesuksesan, dan lain sebagainya. Keris pusaka menjadi salah satu sarana spiritual dan supranatural yang sangat diminati hingga selagi ini.
Pusaka berkhodam sama bersama aura mistis dan laku ritual khusus didalam merawatnya supaya selalu berkhasiat. Salah satu ritual yang tak boleh ditinggalkan oleh si pemiliknya yaitu memandikan pusaka di malam 1 suro.
Cara memandikan keris di malam satu suro inilah yang biasa dikerjakan oleh para pemilik keris. Cara memandikan keris menjadi salah satu hal penting utamanya bagi para penggemar dunia supranatural dan orang-orang yang puas mengoleksi keris.
Ritual bersihkan keris ini menjadi cara yang sanggup isi kembali energi didalam keris tersebut. Adapun alat-alat yang mesti disiapkan lainnya, area air (baskom) dipergunakan sebagai sarana untuk memandikan atau membasuh pusaka.
Kemenyan, dupa, dan bunga setaman. Kembang setaman yang terdiri dari lima macam yaitu kembang kanthil, kembang melati, mawar merah dan putih, dan juga bunga kenanga. Fungsi utama dari bunga ini nantinya dicampurkan ke didalam air didalam baskom yang dapat digunakan untuk membasuh pusaka.
Selain itu, kemenyan atau dupa dipergunakan selagi ritualjamasan pusaka dapat dilakukan. Selanjutnya, belimbing wuluh atau jeruk nipis diperlukan sebagai penghilang karat yang terdapat pada benda pusaka.
Adapun minyak yang biasa digunakan sebagai cara memandikan keris yaitu minyak misik, minyak zakfaron, minyak jamas, minyak kayu cendana, minyak melati, dan minyak seribu bunga. Kain kafan atau kain mori termasuk penting didalam cara memandikan keris. Karena kain ini nantinya digunakan untuk membungkus pusaka keris yang sudah dimandikan.
“Itu peralatan yang diperlukan didalam menjamas keris. Cara-cara layaknya itu merupakan warisan yang sudah diajarkan oleh para empu dan leluhur didalam menjaga keris pusaka,” ungkap Raden Ridwan Yusuf, penggemar dan kolektor keris sepuh.
Dia menceritakan, keris sepuh merupakan peninggalan para empu dahulu. Mereka menyebabkan keris bersama pengharapan dan doa dikerjakan bersama lelaku dan tirakat penuh keikhlasan kepada sang pencipta. Tidak salah menjaga bersama tata cara yang diwariskan para empu terdahulu. Bukan mengkultuskan sebuah benda.
Jadi kembali kepada kemauan hati. Jelas yang sakti penuh karomah bukan kerisnya melainkan empunya lantaran hatinya dekat bersama sang pencipta. Makanya, sebelum saat ritual memandikan keris dilakukan, lebih-lebih dahulu pemilik keris mesti mendoakan empu pembuat keris lewat ritual pembukaan.
Dahulu, disaat seseorang mendambakan memesan keris pusaka sesuai bersama pekerjaan sehari-hari. Misalnya, yang memesan keris seorang petani maka si empu dapat membuatkan pusaka untuk keberlimpahan hasil taninya. Beda kembali selagi seorang raja yang memesan. Seorang empu dapat menyebabkan bersama penuh pengharapan supaya pusaka yang dapat dibuat sanggup berfaedah bagi rakyat yang dipimpin.
“Keris dapur Singobarong yang aku miliki adalah yang paling berkesan dan istimewa dikarenakan merupakan warisan seorang raja. Berkinatah emas, berpamor uler lulut dan junjung drajat. Perpaduan pamor semacam ini melambangkan keinginan supaya raja sanggup memakmuran rakyatnya bersama kekayaan yang dimiliki kerajaan dan juga langgeng menjaga kerajaan. Adapun dapur Singobarong melambangkan keberanian dan kebijaksanaan seorang raja,” jelasnya.
Dia menerangkan, asal mula mendapatkan keris berikut selagi khalwat di makam Raden Kusumo Meloyo, ayah pangeran Trunojoyo. Saat itu, dirinya bermimpi tengah dikejar-kejar banyak orang supaya mulai bingung dan ketakutan. Akhirnya, dia bersembunyi di sebuah makam yang ada di kecamatan Kamal dan diberi sebuah pusaka keris. Keesokan harinya, ada seseorang yang singgah ke rumahnya mengantarkan sebuah keris berdapur singobarong tersebut.
“Saat diantarkan ke rumah, langsung singgah termasuk orang lain melacak keris berikut dan mendambakan memaharkan keris itu bersama angka yang besar. Tetapi tidak aku berikan. Orangnya saat ini tetap ada. Banyak hal yang tidak sanggup aku jelaskan di sini,” ungkap pria asal Bangkalan ini.
Tak hanya itu, keris dapur nogorojo yang dimiliki merupakan peninggalan kerajaan mataram yang merupakan warisan dari sesepuhnya. Selain keris, style tombak keraton Bangkalan berdapur Panggang lele dan Arosbaya termasuk dimiliki olehnya. Sebagian besar merupakan warisan, hanya lebih dari satu saja yang merupakan pemberian orang lain.
Pria yang kerap menyepi berikut menceritakan, asal mula kegemarannya pada pusaka lantaran banyak hal yang tidak sanggup dijelaskan bersama indera manusiawi. Seperti salah satu pusaka yang kecuali memegangnya tidak sanggup ditusuk bersama jarum dan kulit tahan pada air keras.
“Karena sang pencipta itu maha gaib, maka hanya sanggup dirasakan bersama kegaiban hati. Kalau benda pusaka itu salah satu ciptaan empu yang unik. Yang lebih unik itu empunya. Dan yang menyebabkan seorang empu adalah sang pencipta. Di situ aku mulai merasakan filosofi keterkaitannya, antara sang pencipta, empu dan keris,” ceritanya.
Secara eksoteris, keris mesti selalu dilestarikan dan dibudayakan. Sebab, Unesco sudah mengakui keris sebagai warisan budaya dunia. Makanya, banyak selagi ini keris kamardikan dibuat oleh empu-empu muda. Itu sebagai bentuk pelestarian budaya asli Indonesia.
“Keris kamardikan dibuat sehabis masa penjajahan. Di Madura desa Aeng Tong-tong Sumenep memproses keris-keris tersebut. Penjualannya hingga ke luar negeri. Kalau keris sepuh di atas itu, jangan hingga dijual ke luar negeri dikarenakan punya kandungan nilai peristiwa yang tak ternilai. Itu warisan asli,” tandas pria yang sehari-hari berprofesi sebagai wartawan tersebut.