Pusaka Keris Puputan Klungkung

Pusaka Keris Puputan Klungkung

Pusaka
Pusaka Keris Puputan Klungkung

indoarkeologi.xyz, Pusaka Keris – Pusaka yang menyimpan cerita kelam di balik pembantaian oleh Belanda di Puri Smarapura kini telah pulang ke tanah air sesudah menggunakan 115 th. dalam keterasingan. Sebuah keris pusaka yang jadi saksi bisu tragedi selanjutnya membawa sejarah panjang yang kini terungkap sesudah menjalani serangkaian penelitian.

Bagian hulu atau gagangnya yang berlapis emas bersama taburan permata menarik perhatian, pas ukiran yang menghiasi melukiskan sosok Batara Bayu atau Dewa Bayu, sang penguasa angin penangkal kejahatan. Bilah bergelombangnya yang terbuat dari nikel dan warangka berbahan kayu berlapis ukiran keemasan memberikan ciri khas yang mengidentifikasi keris ini sebagai pusaka asal Klungkung, Bali.

Laporan provenance research bersama judul “Kris buitgemaakt bij Klungkung” (keris yang disita di Klungkung) jadi kunci penting dalam memverifikasi keaslian dan asal-usul keris pusaka tersebut. Diterbitkan oleh Comissie Koloniale Collecties bersama no advies I-2023-2, laporan ini memperkuat status artefak selanjutnya sebagai anggota dari repatriasi sejarah dari Belanda ke Indonesia.

Keris pusaka Klungkung jadi keliru satu dari 472 objek bersejarah yang mengalami serah menerima resmi di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, terhadap 10 Juli 2023. Inisiatif ini merupakan langkah konkret untuk mengembalikan kepingan sejarah yang lama terpendam dan memberikan penghormatan kepada pusaka-pusaka yang jadi saksi bisu moment bersejarah di Indonesia.

Keris Pusaka yang Menyimpan Sejarah Peristiwa Puputan Klungkung

Keris pusaka Klungkung punya kandungan sejarah tragis yang berkenaan erat bersama moment Puputan Klungkung terhadap tanggal 28 April 1908. Puputan ini terlihat sebagai wujud perlawanan tanpa kompromi dari Kerajaan Klungkung yang dipimpin oleh Dewa Agung Jambe II terhadap kampanye militer Belanda. Pemerintah kolonial Belanda pas itu mengusahakan memonopoli perdagangan opium, dan Puputan Klungkung jadi panggung pertempuran sengit yang berakhir bersama pengorbanan besar dari pihak Klungkung. Letnan Haremaker tewas terhadap 16 April 1908, menyebabkan serangkaian kejadian terhitung penjarahan dan pembakaran gudang candu oleh laskar Klungkung sebagai wujud protes terhadap monopoli tersebut.

Seiring eskalasi konflik, pemerintah kolonial Belanda mengambil langkah ekstrem bersama mendatangkan pasukan dukungan ke Pelabuhan Sanur. Kapal Hr.Ms. Mataram membawa 144 prajurit dan sejumlah meriam berdiameter 3,7 cm di bawah pimpinan Letnan Laut J. J. Heilbron. Pasukan ini bersatu bersama pasukan KNIL yang dipimpin oleh Kapten Carpentier Alting dan Letkol J.A.M. van Schauroth untuk menyerang laskar Klungkung. Peristiwa ini menciptakan panorama yang memilukan, dan Puputan Klungkung menyisakan jejak kepahlawanan dan perlawanan sengit dalam sejarah perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme di Bali.

Catatan riset yang mendalam membeberkan latar belakang dan dinamika moment Puputan Klungkung, yang jadi titik awal terpisahnya keris pusaka Klungkung dari tanah airnya. Sebagai anggota dari serangkaian repatriasi barang-barang bersejarah dari Belanda, keris ini membawa cerita yang penuh bersama perjuangan dan pengorbanan dari era lalu yang kini jadi anggota dari warisan budaya Indonesia yang wajib dijaga dan dihormati.

Laskar Klungkung dari Kalangan Brahmana

Keistimewaan laskar Klungkung terungkap dalam keragaman sosialnya, tidak hanya terdiri dari kalangan rakyat umum sampai kalangan (kasta) Ksatria, tapi terhitung melibatkan kalangan Brahmana. Yang menarik, persenjataan mereka jauh dari secanggih tentara Belanda, sebagian besar hanya bersenjatakan tombak dan keris. Meskipun tidak miliki kecanggihan peralatan perang, dorongan dan tekad laskar Klungkung dalam menjaga tanah air mereka terpancar melalui perlawanan sengit yang mereka tunjukkan.

Terungkap bahwa peran para Brahmana dalam Puputan tidak selamanya mencolok dibandingkan bersama para Ksatria, tapi tersedia anjuran yang memperlihatkan bahwa Brahmana terhitung memegang peranan penting dalam memimpin laskar Klungkung. Salah satu contohnya adalah Ida Bagus Jumpung, seorang brahmana Gelgel yang turut ambil anggota dalam memimpin laskar. Namun, saat para brahmana pemimpin laskar tewas dalam pertempuran, perlawanan dari serdadu Klungkung terhenti. Puncak tragisnya terjadi terhadap 28 April 1908, di mana lebih kurang 108 prajurit laskar Klungkung tersisa nama mereka sesudah mengusahakan bersama gigih menghambat gempuran Belanda yang menyerang Puri Smarapura.

Peristiwa Puputan Klungkung bukan hanya mencerminkan keberanian dan tekad laskar dari berbagai lapisan masyarakat, tapi terhitung melukiskan kepahlawanan sejati yang dapat menjaga martabat dan kehormatan, meskipun wajib menghadapi kemampuan musuh yang jauh lebih besar dan modern. Cerita ini jadi anggota tak terpisahkan dalam sejarah perjuangan melawan penjajahan di Bali yang patut dihormati dan diabadikan.

Pemilik Keris Pusaka Klungkung yang Masih Menjadi Pertanyaan

Puputan Klungkung menyisakan duka yang mendalam, bersama 108 anggota keluarga istana yang tewas, terhitung wanita dan anak-anak, dan juga lebih kurang 1.000 prajurit. Pembantaian yang dikerjakan oleh kolonial Belanda mendapat kecaman di Eropa, di mana pemerintah kolonial diakui tidak dapat menaklukkan kerajaan kecil di Bali tanpa mengorbankan ribuan nyawa. Kritik ini menyoroti kegagalan pendekatan diplomasi dalam menangani konflik, menciptakan citra kekejaman pemerintah kolonial yang mengejutkan di mata publik internasional. Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern mencatat tragisnya moment ini dalam sejarah pahit perlawanan Bali Utara.

Setelah Puputan Klungkung, jenazah Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe II, beserta para pengikutnya dibakar, dan abunya dihanyutkan ke laut melalui Sungai Unda. Peristiwa ini menciptakan tragedi ganda, di mana tidak hanya korban jiwa yang melibatkan kerajaan dan prajurit, tapi terhitung kehilangan pusaka bersejarah dari Puri Smarapura. Salah satunya adalah keris pusaka Klungkung yang kemudian dijarah oleh Belanda. Meskipun penyelidikan asal-usul belum dapat meyakinkan apakah keris ini dimiliki oleh Dewa Agung Jambe II atau kerabat dekatnya, tapi keberadaannya jadi saksi bisu dari moment tragis yang terjadi terhadap zaman itu.

Laporan Comissie Koloniale Collecties mencatat ketidakpastian berkenaan kepemilikan keris pusaka Klungkung oleh Dewa Agung Jambe II atau kerabat dekatnya. Meskipun demikian, artefak ini selamanya jadi anggota yang tak terpisahkan dari narasi pahit perlawanan dan penjajahan di Bali, mengingatkan kami bakal harga besar yang dibayar oleh masyarakat Bali dalam upaya menjaga identitas dan martabat mereka.

Created By indonesia arkeologi | Creative By indoarkeologi
indoPusaka