Legenda Mbah Bungkul dan Prasasti Trowulan Majapahit

indoarkeologi.xyz – Ki Ageng Mahmuddin atau dikenal sebagai Mbah Bungkul merupakan penguasa muslim tidak benar satu area di Surabaya Jawa Timur terhadap abad ke-14 Masehi.
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Adrian Perkasa menyatakan bagaimana legenda atau folklore, dan juga prasasti meriwayatkan kisah Mbah Bungkul.
“Tidak tersedia sumber-sumber tertulis yang sanggup dijadikan dasar rekonstruksi histori masa hidup Mbah Bungkul, sehingga sumber yang didapat cuma berasal dari kebiasaan lisan atau legenda,” memahami Adrian yang merupakan kandidat doktor di Universiteit Leiden Belanda, di Surabaya, Jumat (22/4/2022).
Menurutnya, dalam legenda tidak diketahui bersama dengan memahami bagaimana kisah Mbah Bungkul memeluk islam dan bagaimana ia menyebarkan ajaran islam di Surabaya.
Namun diketahui bahwa Mbah Bungkul mengadakan sebuah sayembara untuk mencari menantu bersama dengan melarung buah delima.
”Saat sayembara, pada akhirnya larung delima itu didapatkan oleh Raden Paku atau Sunan Giri, yang merupakan tokoh Wali Songo paling terkenal,” memahami Adrian.
Legenda lain juga menyatakan bahwa Mbah Bungkul mengenai bersama dengan tokoh Empu Supo yang dalam kebiasaan legenda dikenal sebagai pembuat pusaka.
“Jika memandang para komunitas Empu pembuat keris dan pusaka yang tetap tersedia kala ini, mereka banyak mengisbatkan ajarannya berasal dari Empu Supo,” terang Adrian.
Namun nyaris seluruh area pesisir utara Jawa Timur menyatakan adanya makam Empu Supo di daerahnya, layaknya Lamongan dan Tuban.
Sehingga belum memahami kebenaran mengenai Mbah Bungkul dan Empu Supo sebagai orang yang sama.
Prasasti Trowulan
Dalam Prasasti Trowulan atau Canggu yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk meriwayatkan beberapa desa yang mendapat kelebihan bebas pajak. Desa selanjutnya mendapat akses ke kerajaan, dan juga bebas lakukan ibadah.
“Desa-desa itu terdapat di area aliran sungai besar Jawa Timur, layaknya Brantas dan Bengawan Solo,” memahami Adrian.
Diketahui pula desa-desa selanjutnya lakukan ibadah 5 waktu.
“Hal itu mengindikasikan bahwa islam telah tersedia di area Bungkul sejak masa kejayaan Majapahit terhadap kekuasaan Hayam Wuruk,” lanjutnya.
“Ki Ageng Bungkul sebagai penguasa miliki peran istimewa sehingga sanggup beroleh privilege terhadap masa kejayaan majapahit,” memahami Adrian.
Pada masa itu, letak geografis Bungkul yang strategis dan dekat bersama dengan aliran sungai menyebabkan berbagai keuntungan. Dari sisi ekonomi, sebelum dibangunnya jalan darat oleh Daendels.
Sungai merupakan kawasan strategis ekonomi karena menjadi jalan utama kesibukan perdagangan.
“Secara religi, area Bungkul sangat strategis dalam persebaran ajaran islam, hal itu sanggup dicermati dari keberadaan legenda yang menyebutnya sebagai mertua Sunan Giri, dan juga adanya makam Adipati dan Demang dalam kompleks makam Mbah Bungkul tersebut,” jelasnya.
Adrian memberikan bahwa mempelajari histori merupakan hal yang penting.
“Dengan belajar Islamisasi yang terjadi di masa lalu, insyaallah kita sanggup mengambil hikmah sehingga terhindar dari anakronisme sejarah,” tuturnya.
Islam tidak singgah begitu saja secara masif dan mengganti seluruh agama di Indonesia, tapi melalui sistem panjang yang dikerjakan sejak zaman kerajaan Majapahit.
“Betapa sentral walisongo dan ajarannya menyebarkan islam sehingga sanggup menjadi agama yang dominan hingga hari ini,” jelasnya.