Kisah Batu Minto hingga Kutukan

Kisah Batu Minto hingga Kutukan

Kisah
Kisah Batu Minto hingga Kutukan

indoarkeologi.xyz – Sebuah batu prasasti abad ke-10 dari Jawa Timur tergeletak di taman keluarga bangsawan Inggris. Pada permukaan Batu Minto disebut sebagai Prasasti Sangguran di Indonesia terukir peristiwa kerajaan, kutukan berdarah, hingga makanan abad ke-10: rujak dan dodol. Mengapa benda bersejarah ini tak kunjung dipulangkan ke Indonesia?

Batu prasasti dari Jawa Timur berangka th. 928 Masehi itu telah teronggok lebih dari 210 th. di halaman kediaman keluarga bangsawan Inggris, Keluarga Minto, di perbatasan Skotlandia dan Inggris.

Pada Prasasti Sangguran itu terukir pahatan aksara Jawa Kuno memuat Info peristiwa perlu mengenai Kerajaan Mataram Kuno dan pergeseran pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, di bawah Mpu Sindok.

Di pada baris-baris tulisan itu, terselip kutukan keras bagi siapa pun yang memindahkannya.

Kutukan ini, menurut sejumlah ilmuwan, seolah terbukti: dari Thomas Stamford Raffles yang memerintahkan pengiriman prasasti ini untuk Lord Minto, Gubernur Jenderal India selagi itu hingga Colin Mackenzie seutuhnya mengalami nasib buruk, sakit, atau meninggal dunia tak lama setelahnya.

Perdebatan soal pemulangan batu ini telah bergulir lebih dari dua dekade.

Sejumlah ilmuwan menyebut bahwa Prasasti Sangguran, sebutan resminya di Indonesia seharusnya dipulangkan karena nilai sejarah, budaya, dan spiritualnya yang besar bagi masyarakat Jawa.

Di tanah asalnya, masyarakat kebiasaan Ngadat di sekitar Batu, Malang, menggelar upacara penghormatan setiap Agustus, sebagai bentuk penghargaan pada prasasti yang diakui memiliki kapabilitas sakral.

Namun sejarawan Britania, Peter Carey, menyebut prasasti itu kini “tidak dihargai sebagaimana mestinya”, karena cuma ditaruh begitu saja di halaman kendati memiliki nilai peristiwa tinggi.

Sementara seorang pejabat Indonesia yang pernah mengunjungi lokasi itu pada 2006 menyebut, “Warisan kami tak terawat, miring tak menyadari di halaman.”

Pemerintah Indonesia awal th. ini menyatakan dapat menggencarkan kembali upaya pemulangan prasasti sehabis lebih dari 20 th. belum membuahkan hasil.

Adapun pemilik prasasti sekaligus pewaris gelar Earl of Minto, Timothy Elliot-Murray-Kynynmound, menyatakan bahwa pihaknya “menyambut bersama bahagia hati setiap minat pada batu ini.”

Namun Lord Minto menyebut bahwa “belum pernah ada pendekatan nyata-nyata untuk memindahkan prasasti itu.”

Lalu, mengapa prasasti ini tak terhitung kembali ke Malang, Jawa Timur, area asalnya?

Kutukan, Jejak Batu Sampai Rujak dan Dodol

Di pada deretan aksara Jawa Kuno yang terukir di Prasasti Sangguran, terselip kalimat-kalimat yang tak biasa: sebuah kutukan, memuat peringatan berdarah:

“Potong hidungnya, belah kepalanya, sobek perutnya, cabut ususnya, makan dagingnya, minum darahnya, dan habisi dia tanpa ampun.”

Tulisan atau kutukan sakral itu umum digunakan di dalam prasasti-prasasti abad ke-10 di Jawa untuk memelihara lokasi atau benda suci.

Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan pada Juni 2024 oleh ilmuwan Arlo Griffiths, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan, kutukan ini bukan cuma unsur budaya, namun anggota dari proses hukum dan kekuasaan spiritual masa itu.

“Kutukan di dalam prasasti layaknya ini dimaksudkan untuk memelihara kesucian lokasi dan menjadi peringatan bagi siapa pun yang melanggar,” tulis tiga ilmuwan dari Prancis, Australia dan Indonesia itu.

Mereka yang terlibat di dalam pindahan batu ini pun tak luput dari perihal tragis.

Colin Mackenzie, pejabat militer yang mengawasi pengangkatan batu dari Jawa, meninggal di dalam perjalanan sebelum saat sempat memajangnya.

Gubernur jenderal di Hindia Timur pada 1811 hingga 1816, Thomas Stamford Raffles yang memerintahkan pengiriman batu ke India untuk diberikan kepada Lord Minto kehilangan empat anak, istrinya meninggal di usia muda, dan ia sendiri meninggal karena stroke pada usia 45 tahun.

Raffles dimakamkan di St. Mary’s Church, Hendon, London, namun makamnya sempat tidak ditemukan sepanjang bertahun-tahun karena gereja itu direnovasi dan sempat terbakar. Baru belakangan diketahui bahwa jenazahnya memang dimakamkan di situ.

Saat meninggal, Raffles tengah berada di dalam tekanan berat, secara keuangan maupun pribadi. Semua ini sering dikaitkan bersama “kutukan” di dalam cerita seputar Prasasti Sangguran.

Bahkan Bupati Malang selagi itu, Tumenggung Suradimanggala—yang konon mengizinkan pengambilan batu tersebut, dilaporkan meninggal tak lama sehabis kejadian.

Nama Tumenggung Suradimanggala yang terlihat di dalam bermacam catatan kolonial terhitung disebut di dalam arsip perjalanan Colin Mackenzie dan timnya selagi berada di lokasi Malang pada 1812.

Kala itu, mereka laksanakan survei dan inventarisasi artefak di bawah perintah Stamford Raffles.

Adam Bobbette, ahli geologi politik dari University of Glasgow, menjelaskan di pada sekian banyak Info yang terkandung di dalam prasasti ini—tentang pajak, pemujaan dewa, hingga batas-batas lokasi suci—satu anggota yang menarik perhatian adalah menu makan malam.

Prasasti ini mencatat terdapatnya pesta besar dan menu makanan rujak dan dodol terhitung di dalamnya.

Bagi Adam Bobbette, anggota ini adalah jendela kecil untuk menyadari normalitas makan masyarakat Jawa abad ke-10.

“Ini menyatakan ada yang tak berubah. Orang di abad ke-10 terhitung bahagia rujak dan dodol,” kata Adam.

Bagi sejarawan Peter Carey, penempatan Prasasti Sangguran dan Prasasti Pucangan di Kalkuta—yang dikirim pada selagi yang bersamaan— “sangat tidak layak”.

“Yang satu [Prasasti Sangguran] di taman terbuka, cuaca Skotlandia itu keras, hujan es, angin, lembap. Yang satu kembali [Prasasti Pucangan] di gudang [yang] bocor di Kalkuta. Ini prasasti peristiwa besar, bukan batu biasa.” kata Peter mengedepankan alasan lain pemulangan prasasti ini.

Dari Lereng Gunung Arjuno ke Pekarangan Keluarga Minto

Menurut Adam Bobbette, pengambilan Prasasti Sangguran harus dilihat di dalam konteks ambisi kolonial Inggris di abad ke-19.

Selama Perang Napoleon, British East India Company—kongsi dagang Inggris di Asia—memanfaatkan peluang untuk menginvasi Jawa demi menguasai kekayaan alam dan jalan perdagangan, kata Adam.

Rencana ini diatur oleh Lord Minto, Gubernur Jenderal India selagi itu, yang sesudah itu menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur di Jawa pada 1812. Demikian dilansir BBC Indonesia.

Raffles percaya bahwa jikalau para ilmuwan Inggris sanggup mempelajari masa lalu Jawa, mereka sanggup “mengajarkan” peristiwa itu kepada masyarakat lokal—sebuah gagasan yang paternalistik dan merendahkan, kata Adam Bobette.

Dalam surveinya, Raffles menghimpun artefak, menjarah manuskrip Jawa dari Kesultanan Yogyakarta, dan di sesudah itu hari, mengirim dua prasasti perlu ke luar negeri.

Salah satu orang kepercayaan Raffles, Mayor Jenderal Colin Mackenzie, seorang peneliti peta, dikirim ke Jawa Timur.

Di kaki Gunung Arjuno-Welirang, lokasi Malang, Mackenzie menemukan sebuah batu prasasti besar, berdiri layaknya pelindung di tengah desa.

Menurut catatan yang kini tersimpan di British Library dan diceritakan kembali oleh para akademisi, batu itu sesudah itu diangkat dan dipindahkan atas restu Bupati Malang selagi itu, Tumenggung Suradimanggala.

Tujuannya untuk dijadikan hadiah istimewa bagi Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris untuk India—yang sekaligus adalah atasan langsung Raffles selagi itu.

“Prasasti yang fantastis ini dapat saya kirimkan kepada Anda sebagai sinyal penghormatan…”

Tahun itu juga, Prasasti Sangguran dimuat di dalam peti dan dibawa melintasi laut.

Lord Minto, yang sesudah itu pensiun dan kembali ke kediaman keluarganya di Skotlandia menempatkan batu itu di halaman rumahnya di kawasan Roxburghshire.

Sementara satu prasasti lainnya—Prasasti Pucangan—yang terhitung diambil alih di dalam periode yang sama, dikirim ke Kalkuta di India dan kini menjadi koleksi Museum India.

“Ini bukan sekadar pindahan fisik, namun pembelahan memori dari tanah dan rakyatnya,” ujar Adam Bobbette di dalam penelitiannya mengenai geologi politik di Jawa.

Kini, lebih dari 200 th. kemudian, batu itu masih teronggok di sana.

Nilai Sejarah dan Spiritualitas: Kenapa Harus Dipulangkan?

Bagi para ahli epigrafi, arkeolog, sejarawan, dan masyarakat kebiasaan di tanah asalnya, prasasti ini adalah naskah hidup—warisan yang belum selesai diceritakan.

Ditulis pada th. 850 Saka (928 M), prasasti ini merupakan dokumen perlu dari masa kekuasaan Mpu Sindok, keliru satu raja besar yang memindahkan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Menurut penelitian Arlo Griffiths, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan, prasasti ini mencatat pertolongan lokasi suci di area Sangguran, yang berlokasi di dekat Batu, Malang—sebuah ketetapan politik dan spiritual yang menandai fase perlu di dalam peristiwa Nusantara.

“Ini bukan sekadar prasasti mengenai administrasi, namun catatan mengenai kekuasaan, peralihan geopolitik, dan pemahaman kuno mengenai relasi manusia bersama alam,” tulis Griffiths, Sastrawan, dan Bastiawan di dalam laporan mereka yang diterbitkan pada 2024.

Tak cuma itu, prasasti ini terhitung mencerminkan bagaimana masyarakat Jawa abad ke-10 mengelola area suci, menghadapi bencana alam, dan mengukuhkan lokasi melalui ritual dan kutukan sakral.

Bagus Muljadi, dosen di bidang tehnik kimia dan lingkungan di University of Nottingham, serta inisiator kemitraan ilmiah Indonesia–Inggris, lihat Prasasti Sangguran bukan cuma sebagai peninggalan sejarah, namun terhitung sebagai titik temu pada geologi, sejarah, dan geopolitik Indonesia.

Ia bersama Adam Bobbette menggagas seminar internasional “Inscriptions on the Move” di Glasgow pada 2023, untuk mengangkat nilai ilmiah prasasti ini di mata komunitas akademik global.

“Penting untuk mempunyai kembali prasasti ini karena kekuatannya bukan cuma simbolik, namun terhitung saintifik,” ujar Bagus Muljadi, akademisi Indonesia yang berbasis di Inggris dan terlibat di dalam proyek penelitian lintas negara mengenai prasasti ini.

“Batu ini adalah jendela pengetahuan, dari peristiwa kerajaan, pergantian iklim, hingga bencana alam,” tambahnya.

Di tanah asalnya, masyarakat kebiasaan Ngadat di Batu, Malang, masih memelihara hubungan spiritual bersama prasasti ini, menurut sejumlah laporan lokal dan terhitung disebut di dalam studi terbaru oleh Arlo Griffiths, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan (2024).

Setiap Agustus, mereka mengadakan upacara penghormatan untuk mengenang kapabilitas simbolik prasasti yang hilang itu.

Dalam upacara ini, warga mempunyai sesajen, membacakan doa-doa leluhur, dan memberikan harapan sehingga batu warisan itu sanggup kembali ke area asalnya.

Prasasti Sangguran bagi mereka bukan sekadar artefak sejarah, namun anggota dari identitas dan keseimbangan spiritual desa.

Bagi sejumlah ilmuwan layaknya Adam Bobbette dan Bagus Muljadi, repatriasi bukan cuma sebagai cara moral, namun terhitung sebagai anggota dari diplomasi pengetahuan pada Indonesia dan dunia.

“Ini anggota dari membangun masa depan berbasis pengetahuan. Pemulangan batu itu bukan soal dendam kolonial, namun soal membangun kembali relasi yang setara,” kata Adam Bobbette.

“Dengan nilai sejarah, budaya, spiritual, dan geopolitik yang begitu besar, Prasasti Sangguran adalah punya tanah yang melahirkannya,” tambahnya.

Adam adalah penulis buku The Pulse of the Earth, yang mengkaji geologi politik di Jawa dan memasukkan Prasasti Sangguran di dalam narasinya.

Buku ini baru-baru ini memenangkan Harry J. Benda Prize dari Association for Asian Studies (USA)—penghargaan bergengsi untuk buku pertama terbaik di bidang kajian Asia.

Kenapa Belum Kembali: Dua abad di Pekarangan Keluarga Minto

Batu itu masih berdiri di sebuah halaman pekarangan di desa kecil bernama Minto, dekat kota Hawick di perbatasan Inggris dan Skotlandia.

Tak banyak yang menyadari keberadaannya. Tak ada plakat, tak ada penjaga.

Sebagian besar orang yang tinggal di sekitar barangkali tak menyadari bahwa batu setinggi dua meter itu berasal dari sebuah kerajaan kuno di Jawa Timur.

Sejak pertama kali ditaruh di halaman itu oleh Gilbert Elliot, Earl of Minto pertama, prasasti itu tak pernah dipindahkan, melalui musim dingin berat dan pergantian generasi.

Upaya pemulangan memang pernah dibahas, bahkan sempat menyentuh isu harga.

“Dulu sempat disebut angka £70.000 (sekitar Rp1,4 miliar di dalam nilai tukar selagi ini),” ungkap sejarawan Peter Carey, yang mengikuti langsung pertumbuhan diplomasi artefak Indonesia sejak awal 2000-an.

“Tapi itu benar-benar tidak layak. Ini perampasan kolonial. Tidak seharusnya ada uang yang dibayarkan kepada keluarga. Jangan kembali itu lagi.” kata ilmuwan dari Universitas Oxford itu.

Pada 2006, delegasi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di London mengunjungi lokasi prasasti tersebut.

Salah satu anggota delegasi, Pribadi Sutiono—yang kini menjabat Duta Besar Indonesia untuk Slovakia—menyebut “batu warisan kami tidak terawat”.

“Teronggok di halaman, miring tak jelas,” ujarnya.

Lord Minto selagi ini, Timothy Elliot-Murray-Kynynmound, Earl of Minto ke-7,membenarkan kunjungan itu.

“Benar bahwa pemerintah Indonesia mengirim delegasi untuk lihat Batu berikut pada 2006 dan kami bersama bahagia hati menyongsong mereka di Minto,” tulisnya kepada BBC News Indonesia.

Ia menambahkan bahwa pengunjung memang tidak banyak, “namun senantiasa disambut bersama hangat, dan sepanjang bertahun-tahun telah ada ketertarikan akademik dari bermacam kalangan pada batu yang diakui sebagai benda peristiwa perlu itu.”

Pada 2014, dua abad sejak batu itu dikirim ke Skotlandia, ada kontak lanjutan.

“Namun tidak ada tindak lanjut konkret dari komunikasi itu,” kata Lord Minto.

Ia terhitung menambahkan bahwa, “belum pernah ada pendekatan nyata-nyata untuk memindahkannya”.

“Keluarga Minto menyongsong bersama bahagia hati setiap minat pada batu ini.” katanya lagi.

Bagi ilmuwan layaknya Adam Bobbette dan Bagus Muljadi, pemulangan prasasti ini adalah anggota dari “diplomasi pengetahuan dan pembangunan pascakolonial.”

Tetapi Bagus Mulyadi menyatakan pendekatan diplomasi ini sulit berhasil dan tidak sanggup “mengandalkan negara”.

“Pendekatan diplomatik sepanjang ini sering gagal karena tak dilandasi argumen saintifik,” katanya.

“Prasasti layaknya Sangguran seharusnya menjadi subjek riset aktif lintas disiplin, bukan cuma lambang dekolonisasi.”

“Masyarakat sipil dan diaspora akademik terhitung harus bergerak, layaknya yang kami laksanakan di dalam proyek ini. Repatriasi harus dibawa ke area publik, bukan cuma di meja diplomasi,” jadi Bagus.

Ia mengedepankan bahwa jikalau publik dan komunitas ilmiah bersuara, batu ini sanggup kembali bukan karena rasa kasihan, namun karena alasan yang tak terbantahkan.

“Restitusi ini sanggup menjadi anggota dari transformasi sains Indonesia menuju masyarakat berbasis pengetahuan.”

Setelah konferensi internasional pertama digelar di Glasgow pada 2023, para akademisi tengah mempersiapkan forum lanjutan pada 2026.

Konferensi mendatang, menurut Bagus, dapat melibatkan pemangku kebijakan bersama tiga obyek besar: pemulangan prasasti, pendanaan riset jangka panjang, dan perumusan cetak biru (blueprint) diplomasi sains Indonesia.

Menjawab pertanyaan BBC News Indonesia, Kementerian Kebudayaan menyatakan bahwa selagi ini mereka masih menyusun langkah pemulangan Prasasti Sangguran dan tengah laksanakan bermacam kajian serta advokasi, terhitung menjalin komunikasi bersama jejaring kementerian di Inggris dan pihak keluarga Minto.

Namun, hingga selagi ini, belum ada pendekatan resmi di dalam bentuk surat kepada keluarga Minto.

Pihak kementerian terhitung menyebut sejumlah hambatan layaknya belum terdapatnya payung hukum pada Indonesia dan Inggris tentang repatriasi, serta belum terdapatnya kebijakan khusus dari pemerintah Inggris mengenai restitusi benda budaya.

Komunikasi bersama keluarga Minto terhitung disebut sebagai tantangan tersendiri yang memerlukan pendekatan diplomatik melalui bermacam saluran.

Selain Prasasti Sangguran, Kementerian Kebudayaan mencatat sejumlah artefak lain punya Indonesia yang kini berada di Inggris, layaknya Prasasti Wangwang Bangen, Prasasti Sobhamerta, serta sejumlah benda budaya dari Keraton Yogyakarta.

Kajian pada artefak-artefak berikut terhitung tengah dilaksanakan oleh tim repatriasi.

Tetapi sejarawan Peter Carey menegaskan, selagi untuk “mengkaji” telah benar-benar lama.

“Pada dasarnya, saat ini bola ada di tangan Pemerintah Indonesia. Jika mengidamkan tindak lanjut yang dibutuhkan adalah keahlian, kewenangan, dan ketegasan. Tanpa itu, inisiatif ini tidak dapat ke mana-mana,” ujarnya.

Created By indonesia arkeologi | Creative By indoarkeologi
indoPusaka